A. Tafsir Al-Baqarah Ayat 183-187
Pensyariatan puasa dan penjelasan hukum-hukumnya.
Demikian pula menerangkan tentang pentingnya puasa, keutamaan bulan Ramadhan
dan keutamaan berdoa di bulan itu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣)
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(١٨٤)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(١٨٥)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي
عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا
لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ
لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ
اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ
إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 183-187
183. Wahai
orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu[1]
agar kamu bertakwa[2],
184. (yaitu)
dalam beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengganti) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya[3],
wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin[4].
Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[5],
maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
185. (Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran[6],
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di
antara kamu ada[7]
di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu[8].
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah[9]
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur[10].
186.[11]
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
sesungguhnya Aku dekat[12].
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdo'a kepada-Ku.
Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah-Ku) dan beriman kepada-Ku, agar mereka
mendapat petunjuk.
187.[13]
Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri kamu[14].
Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka[15].
Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu, karena itu Allah
mengampuni dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa
yang telah ditetapkan Allah bagimu[16].
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar[17]
[18].
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam[19].
Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf[20]
dalam masjid[21].
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya[22].
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka
bertakwa[23].
BERIKUT TAFSIR QS AL-BAQARAH AYAT 183-187
Ayat 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
[1] Dalam ayat ini terkandung beberapa hal:
-
Puasa termasuk syari'at yang tidak dimansukh karena maslahatnya yang begitu
besar bagi manusia.
-
Mendorong umat ini agar semangat melakukannya, yakni hendaknya mereka
berlomba-lomba dengan generasi sebelum mereka dalam menyempurnakan amalan dan
bersegera kepada hal yang baik.
-
Puasa bukanlah hal yang berat yang hanya dibebankan kepada kita.
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
[2] Ayat di atas menerangkan bahwa
puasa merupakan sebab terbesar untuk memperoleh ketakwaan. Puasa merupakan
tameng bagi seseorang dari perbuatan maksiat, karena ia dapat melemahkan
syahwat yang menjadi sumber maksiat. Di dalam puasa terkandung nilai-nilai ketakwaan,
di antaranya:
- Di dalam
puasa seseorang meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti makan, minum dan
berjima'. Jika seseorang mampu meninggalkan hal-hal yang disukainya, nantinya
ketika dihadapkan perbuatan maksiat yang disukai hawa nafsunya, maka ia mampu
menahan dirinya sebagaimana ia mampu menahan dirinya dari makan, minum dan
berjima'. Dengan begitu ia dapat bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala
dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Orang yang
berpuasa melatih dirinya agar merasa diawasi Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Ketika puasa, ia meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya padahal ia
mampu karena mengetahui bahwa dirinya diawasi Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
- Puasa
mempersempit ruang gerak setan, di mana ia berjalan melewati tempat peredaran
darah.
- Orang yang
berpuasa biasanya banyak menjalankan keta'atan dan maksiatnya berkurang. Hal
ini termasuk nilai-nilai ketakwaan.
- Orang yang
kaya ketika merasakan pedihnya rasa lapar, membuat dirinya merasakan derita
orang-orang fakir dan miskin. Hal ini akan membuatnya ingin bersedekah karena
telah merasakan derita orang-orang fakir dan miskin.
Ayat 184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا
أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
[3] Yaitu orang yang sakit berat, orang yang sangat tua,
orang yang hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan anaknya.
Faedah:
Ada yang berpendapat bahwa pada permulaan diwajibkan
puasa, sedangkan sebelumnya para sahabat belum terbiasa melakukan puasa
sehingga terasa berat oleh mereka, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan
secara bertahap. Dia memberikan pilihan kepada mereka yang mampu berpuasa untuk
melakukan salah satu dari kedua perkara ini; berpuasa atau membayar fidyah.
Namun berpuasa tetap lebih utama. Setelah itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menjadikan puasa mesti dilakukan bagi mereka yang mampu (yakni mampu, sehat dan
hadir pada bulan itu di negeri tempat tinggalnya) dengan firman-Nya "Faman
syahida minkumusy syahra fal yashum-h", Ibnu Abbas berkata, "Kecuali
wanita yang hamil dan menyusui, jika keduanya mengkhawatirkan keadaan anaknya,
maka ayat ini tetap berlaku tidak dihapus hukumnya bagi mereka berdua."
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
[4] Seukuran satu mud (satu kaupan
tangan orang dewasa) dari makanan pokok daerah setempat.
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ
تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
[5] Maksudnya memberi makan lebih dari
seorang miskin untuk satu hari.
Ayat 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ
[6] Yakni dari Al Lauhul Mahfuzh ke langit dunia di malam
Lailatul Qadr.
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)
[7] Yakni dalam keadaan sehat dan tidak
safar.
[8] Ayat ini menunjukkan bahwa semua
perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya pada asalnya adalah mudah. Oleh karena
itu, ketika ada beberapa hal yang menjadikannya berat, maka Allah Subhaanahu wa
Ta'aala mengadakan bentuk kemudahan lainnya, bisa berupa pengguguran kewajiban
(misalnya gugurnya kewajiban hajji bagi yang tidak mampu) atau meringankan
dengan berbagai bentuk peringanan (misalnya ketika shalat, jika tidak sanggup
sambil berdiri, bisa dilakukan sambil duduk dsb).
[9] Dengan bertakbir pada hari Idul
Fithri. Sebagain ulama ada yang berdalil dengan ayat ini, bahwa takbir 'Ied
dimulai dari sejak melihat hilal Syawwal sampai selesai khutbah 'Ied.
[10] Yakni terhadap nikmat hidayah, taufiq dan
kemudahan-Nya yang diberikan kepada kita.
Ayat 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)
[11] Dalam tafsir Al Jalaalain disebutkan, bahwa sebagian
manusia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah
Tuhan kita dekat sehingga cukup berbisik-bisik dalam meminta ataukah jauh
sehingga kita perlu memanggil-Nya?", maka turunlah ayat ini.
Ayat ini
juga menerangkan adab dalam berdo'a, yakni agar tidak keras-keras, karena Dia
Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
[12] Ilmu-Nya meliputi mereka, Dia mendengar dan
Mengetahui mereka dengan ketinggian Dzat-Nya di atas 'Arsyi-Nya.
Ayat 187
[13] Imam Bukhari meriwayatkan dari Al Barra', ia berkata,
"Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika
berpuasa, kemudian tiba waktu berbuka, lalu seseorang tidur sebelum berbuka,
maka ia tidak makan di malam harinya dan di siang harinya sampai sore hari.
Pernah suatu ketika Qais bin Sharmah Al Anshariy berpuasa, saat tiba waktu
berbuka, ia mendatangi istrinya dan berkata kepadanya, "Apakah kamu
memiliki makanan?" Istrinya menjawab, "Tidak. Akan tetapi, saya akan
pergi mencarikan untukmu." Di siang harinya, Qais bekerja sehingga
membuatnya cepat mengantuk di malam hari, lalu istrinya berkata, "Rugi
sekali kamu!". Ketika di siang hari, Qais pun pingsan, lalu diberitahukan
masalah tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka turunlah ayat
ini, "Uhilla lakum lailatash shiyaamur rafatsu ilaa nisaa'ikum",
maka para sahabat bergembira sekali. Demikian pula ayat, "Wa kuluu wasy
rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswad"…dst.
Imam Bukhari
menyebukan kembali dalam Kitabut tafsir dengan adanya perubahan pada
sebagian sanad, dan di sana disebutkan secara tegas bahwa Abu Ishaq mendengar
secara langsung, lafaznya adalah: Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, para
sahabat tidak mendekati istri selama bulan Ramadhan penuh, namun ada beberapa
orang yang mengkhianati dirinya, maka Allah menurunkan ayat, "Alimallahu
annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum fataaba 'alaikum."
Zhahir kedua
hadits di atas nampak berbeda, akan tetapi tidak ada salahnya jika QS
AL-BAQARAH AYAT 183-187turun berkenaan orang ini dan itu.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى
نِسَائِكُمْ
[14] Ayat ini turun untuk menaskh (menghapus) larangan
berjima', makan dan minum setelah 'Isya atau setelah tidur di awal-awal Islam.
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ
[15] Kata-kata ini merupakan kinayah
yang menerangkan bahwa masing-masing saling membutuhkan.
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
[16] Yakni niatkanlah dalam berjima' itu untuk bertaqarrub
kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala serta memperoleh tujuan dari jima', yaitu
memperoleh keturunan, menjaga farjinya, menjaga farji istri dan memperoleh
maksud daripada nikah. Termasuk "mencari apa yang ditetapkan Allah untuk
kita" adalah mencari Lailatul qadr yang bertepatan dengan malam hari bulan
Ramadhan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita tetap bersenang-senang dengan
istri dan membiarkan Lailatul qadr lewat begitu saja. Bersenang-senang masih
bisa dikejar, adapun Lailatul qadr jika sudah lewat, tidak bisa dikejar.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
[17] Imam Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad ia
berkata, "Telah turun ayat, "Wa kuluu wasy rabuu hattaa
yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswad" (artinya:
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam), namun
belum turun kata-kata, "Minal fajr" (yaitu fajar). Oleh karena
itu, ada beberapa orang sahabat, ketika ingin berpuasa, salah seorang di antara
mereka mengikat benang putih dan benang hitam di kakinya. Ia senantiasa makan
sampai ia jelas melihat kedua benang itu, maka Allah menurunkan ayat, "Minal
fajr", maka mereka pun mengetahui bahwa maksudnya adalah malam dan
siang.
[18] Ayat ini menerangkan waktu makan, minum dan berjima',
yaitu sampai terbit fajar shadiq. Ayat ini juga menunjukkan bahwa apabila
seseorang makan atau minum dalam keadaan ragu-ragu apakah sudah terbit fajar
atau belum, maka tidak mengapa. Demikian juga menerangkan beberapa hal berikut:
- Anjuran
makan sahur dan anjuran menta'khirkannya; diambil dari rukhshah dan kemudahan
yang diberikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
- Bolehnya
seseorang mendapatkan waktu fajar dalam keadaan junub dari jima' yang dilakukan
sedangkan ia belum mandi, dan puasanya sah. Hal ini, karena sesuatu yang lazim
dari bolehnya jima' sampai terbit fajar adalah mendapatkan waktu fajar dalam
keadaan baru selesai jima' (masih junub), dan lazim dari yang hak (benar)
adalah hak (benar) pula.
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
[19] Dimulai dari tenggelamnya matahari.
[20] I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah. Ayat ini menerangkan larangan bagi orang yang
beri'tikaf ketika keluar karena suatu keperluan, lalu ia menggauli istrinya,
dan menunjukkan bahwa I'tikaf menjadi batal karena jima'.
[21] Ayat ini menunjukkan disyari'atkannya I'tikaf, dan
bahwa I'tikaf hanya sah di masjid, yakni masjid yang mereka kenal, yaitu masjid
yang dipakai shalat lima waktu.
فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
[22] Kata-kata "jangan mendekati" lebih dalam
daripada sekedar "jangan melakukan". Karena jangan mendekati mencakup
larangan mengerjakan perbuatan yang dilarang tersebut, demikian juga segala
wasilah (sarana) yang mengarah kepadanya.
[23] Karena biasanya orang-orang melakukan perbuatan
maksiat, karena tidak mengetahui bahwa hal itu merupakan maksiat, maka Allah
Subhaanahu wa Ta'aala di QS AL-BAQARAH AYAT 183-187menerangkan hukum-hukum-Nya
agar mereka dapat menjauhinya. Dengan demikian, tidak ada lagi 'udzur dan
alasan untuk mengerjakan larangan tersebut.
B. HUBUNGAN QS
AL-BAQARAH AYAT 183-187 DENGAN PENDIDIKAN
Secara umum, puasa didefinisikan oleh ulama Fiqhi
sebagai menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar
hingga terbenamnya matahari. Kewajiban puasa berdasarkan firman Allah SWT, “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seperti telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Q.S Al
Baqarah:183)
Tujuan akhir puasa seperti tersurat dalam ayat di
atas adalah membentuk manusia yang bertakwa. Takwa menjadi tujuan utama
dalam berpuasa. Tujuan puasa tersebut merupakan bagian dari tujuan
pendidikan nasional. Dalam pendidikan nasional, takwa menjadi salah satu tujuan
yang ingin dibentuk dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
ditegaskan, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut berbagai literatur Islam, takwa diartikan
sebagai usaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan, menaati semua
perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Manusia bertakwa adalah
contoh manusia sempurna, insan kamil. Dalam kajian filsafat
pendidikan, insan kamil atau manusia sempurna merupakan tujuan akhir
pendidikan. Sebab, pendidikan senyatanya adalah upaya atau proses memanusiakan
manusia.
Selama satu bulan, kita umat Islam mengikuti
pendidikan dan latihan berdasarkan kurikulum dari Allah SWT melalui ibadah
puasa. Karena itu, bulan puasa disebut juga sebagai madrasah ruhaniyahyaitu
sekolah pengembangan spritual. Dalam berpuasa, Allah SWT mendidik, melatih kita
semua agar menjadi manusia bertakwa.
Menurut Imam al Gazali, puasa itu terdiri dari
tiga tingkatan atau kelas. Tingkatan atau kelas tersebut akan menentukan hasil
berpuasa setiap dari kita. Kelas terendah disebut shaumul awam,puasanya
masyarakat umum (orang awam). Mereka hanya menahan lapar dan dahaga. Mereka
hanya tidak makan dan tidak minum pada siang hari. Mereka menggantinya makan
sepuas-puasnya di malam hari. Orang awam hanya memindahkan jam makan-minum.
Kelas menengah disebut
oleh al Gazali sebagai shaumul khoash,puasanya orang pilihan. Mereka
tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tidak makan dan tidak minum selama siang
hari. Selain itu, mereka berusaha meninggalkan segala perbuatan dosa. Tangan,
kaki, mulut, mata, telinga serta seluruh anggota tubuh diupayakan tidak
digunakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Ini merupakan arti imsak,menahan
diri dalam ibadah puasa.
Kelas tinggi dalam istilah al Gazali disebut shaumul
khoashul khoash, puasanya orang super pilihan. Mereka tidak saja menahan
lapar dan dahaga. Tidak sebatas menahan anggota tubuh untuk tidak bermaksiat.
Lebih dari itu, mereka menjaga hati, perasaan, pikiran dari hal-hal yang
dilarang oleh Allah SWT. Mereka menjaga hati dari hasud, iri, prasangka buruk,
riya’, dengki dan penyakit hati lainnya.
·
Nilai Pendidikan
Dalam kewajiban puasa terkandung banyak nilai.
Diantaranya adalah nilai Pendidikan. Yakni nilai-nilai yang ada dalan kewajiban
berpuasa yang bersifat mendidik. Nilai-nilai nya yaitu:
1. Kedisiplinan
Puasa
melatih hidup disiplin. Penerapan disiplin dalam puasa tercermin dalam
pengaturan pola makan selama berpuasa. Puasa mengajarkan ketepatan dan
keteraturan waktu. Baik imsak maupun takjil memiliki
pelajaran penting bila diamati dan dihayati lebih jauh. Imsak artinya saat
mulai menahan diri dari makan dan minum. Kita tak boleh melanggar sedikit pun.
Bila dilanggar puasa akan batal. Saat imsak tiba makan minum harus berhenti.
Demikian juga takjil. Takjil adalah menyegerakan berbuka saat datang waktu
maghrib.
Baik imsak ataupun takjil melatih orang tepat
waktu. Waktu merupakan sesuatu yang penting dalam hidup seseorang. Waktu
seyogyanya mendapat perhatian khusus. Menjadi aneh, jika dalam Ramadhan hidup
kita tidak teratur. Tidur larut malam. Bangun menjadi kesiangan. Bahkan
sebagian dari kita menghabiskan siang hari untuk tidur saja. Juga malas
bekerja.
2. Kejujuran
Dalam berpuasa, kejujuran seorang muslim diuji.
Ia dapat mengaku berpuasa kepada siapa saja walau sesungguhnya tidak
berpuasa. Karena hanya Allah SWT yang mengetahui apakah berpuasa atau tidak.
Kapan pun, dimana pun seorang bisa berdusta terkait puasanya. Hal ini
menjadi latihan kejujuran yang nyata. Dalam kehidupan sosial masyarakat Islam,
kejujuran tentang hal itu akan teruji sepanjang bulan Ramadhan.
3. Merangsang rasa simpati dan empati
Simpati merupakan proses ketika seorang merasa
tertarik kepada orang lain. Merasakan apa yang dirasakan, dialami, diderita
oleh orang tersebut. Sedangkan empati adalah respons afektif dan kognitif
yang kompleks pada distres emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan
untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba
menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Berpuasa dengan menahan lapar dan dahaga
sepanjang hari selama satu bulan melatih pribadi muslim untuk senantiasa peduli
dengan penderitaan sesama manusia. Puasa menghadirkan kepedulian sosial. Puasa
mengasa ketajaman jiwa sosial seseorang. Dengan puasa diharapkan jiwa sosial
kita lebih tajam. Sehingga kita menjadi lebih responsif terhadap apa yang
menimpa orang lain.
4. Hidup sederhana
Berpuasa
makan hanya dua kali yaitu ketika sahur dan berbuka. Berbeda dengan hari
biasanya, berpuasa mendidik hidup lebih hemat dan sederhana. Berpuasa itu
sejatinya bukan memindahkan waktu makan dari siang ke malam hari.
Harusnya, selama berpuasa pengeluaran kebutuhan sehari-hari lebih
sedikit.
Tapi, faktanya bulan puasa adalah bulan termahal
dalam hitungan keuangan keluarga masyarakat Indonesia. Ini tak selaras dengan
semangat latihan hidup hemat nan sederhana dalam kewajiban berpuasa.
Biaya hidup di bulan suci ini lebih besar. Kenapa? Karena ternyata dalam
berpuasa konsumsi kita dalam segala hal justru meningkat. Tak heran, harga
sembako juga lainnya mengalami kenaikan tajam sebab tingginya permintaan.
5. Mendidik sabar
Betapapun
rasa haus mencekik tenggorokkan dan lapar melilit perut, ketika waktu magrib
belum tiba, kita tidak diperbolehkan bersentuhan dengan makan dan minuman.
Meskipun itu halal, kita harus bersabar menunggu hingga waktu berbuka
tiba...Satu bulan berpuasa seperti itu kudu membekas dalam diri kita. Sehingga
setelah berpuasa kesabaran diri jadi meningkat.
Akhir kata, puasa sebagai ibadah ritual tahunan
sungguh kaya makna, nilai dan arti. Dari berpuasa dapat digali nilai-nilai pendidikan.
Berpuasa diharapkan meningkatkan disiplin, membentuk pribadi jujur, hidup
sederhana, jiwa sosial yang kuat, pribadi sabar, serta membangun kepedulian
sosial yang tinggi. Nilai-nilai tersebut bila tertanam kuat akan melahirkan
manusia yang bertakwa. Puasa akhirnya lebih bermakna. Tidak sebatas merasa
lapar serta dahaga saja. Wa Allahu a’lam.
KESIMPULAN
1. Diwajibkan berpuasa bagi setiap orang yang melihat terbitnya
bulan permulaan yaitu bulan ramadhan atau ia mengetahui dari orang yang di percayainya.
2. Hikmah puasa antara lain untuk membina kekuatan rohaniah
dalam rangka menjalankan tugas sebagai hamba allah yang membutuhkan kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat.
3. Allah membolehkan tidak berpuasa pada bulan ramadhan bagi
orang orang yang sakit dan musafir. Tetapi wajib bagi mereka menggantinya pada
hari lain dari luar ramadhan
4. Orang yang tidak mungkin melihat bulan ramadhan karena
panjangnya waktu malam atau panjangnya waktu siang, seperti didaerah kutub
selatan dan kutub utara, maka dipersamakan waktu puasanya daerah daerah yang
dekat dengan kutub utara dan selatan
5. Berdoa kepada allahh, hendaklah secara langsung tanpa
perantara,dan penuh khidmat dan khusyu tanpa suara yang keras, karena tuhan
sangat dekat kepada hambanya, mengatahui segala gerak gerik segala perbuatanya
dan mengabulkan permohonanya.
6. Seorang suami dibolehkan bersetubuh dengan istrinya pada
malam hari bulan ramadhan sampai terbit waktu fajar. Tetapi pada waktu i’tikaf
di mesjid, hal itu tidak dibolehkan.
7.
Puasa seorang yang junub(
berhadas besar) karena makan, minum, dan bersenggama dengan istri dibolehkan
pada malam hari smpai terbit fajar. Apabila seseorang tidak sempat mandi junub
sebelum terbit fajar, tentulah ia masih berjunub setelah terbit matahari, namun
puasanya tetap sah.
Sumber: Tafsir Al-Quran Al-Karim